Sabtu, 30 April 2016

6-Idol

based on VIXX-I don't want to be an idol

Ini sudah kesekian kalinya ia membatalkan jadwal kencan yang sudah ku susun dengan manis. Aku sudah membayangkan bagaimana nanti dia menjemputku, kemudian pergi ke bioskop, menonton film romantis, dan berakhir dengan duduk manis di tepian pantai menatap langit. Namun kemudian semuanya hancur lebur, ketika ia berkata, "Maaf, sayang, mendadak aku harus bertemu dengan presdir untuk membahas konser.."

Dan aku hanya bisa mengatakan "iya, itu bukan masalah, sayang.."

Apalagi yang bisa aku katakan ? Mengatakan 'tidak' dan memulai aksi marah dengan tidak menjawab semua panggilan teleponnya ? Ku pikir aku tidak sebocah itu, dan ku pikir...ini memang resiko-ku.

Sudah hampir dua tahun kami jalan bersama, tapi tak seorangpun yang tahu, kecuali orangtua kami masing-masing. Publik tidak tahu, dan aku cukup tahu diri untuk tidak membuat dirinya dalam masalah. Aku tidak mau bila nanti ia memiliki skandal dengan seorang perempuan, meski itu adalah aku. Aku masih cukup sadar diri untuk tidak membuat karirnya berantakan. Aku menyayanginya, meski hubungan kami hanya jalan di tempat.

"Maaf, ini sudah ke sekian kalinya aku membatalkan janji kita. Aku tidak berharap kau tak marah, aku hanya berharap hubungan kita tidak berhenti sampai disini.." katanya, dua malam setelah kencan kami yang lagi-lagi ia batalkan.

"Aku tahu..Aku memang berhak marah padamu, tapi aku juga tahu jika ini mimpimu. Aku tidak sanggup untuk menghancurkannya, meski aku ingin. Sejauh ini aku sudah berusaha untuk mengerti, dan aku akan selalu mengerti tentangmu.."

Ia tersenyum, dan beginilah kami. Pada setiap kencan yang batal, selalu ada jarak yang terhapuskan. Hubungan kami selalu semakin dekat, meski jarang bertemu, meski segalanya tampak monoton. Tapi aku mencintai dia, dan aku pun tahu jika ia juga mencintaiku. Kami harus saling mengerti, dengan begitu semuanya akan baik-baik saja.

Sempat hampir tiga bulan kami tak bertemu, bahkan tak ada pesanku yang ia balas. Aku hampir menyerah, ingin semuanya berakhir. Aku mulai lelah, dengan semua ke-monoton-an yang kami ciptakan sejak awal. Aku mulai menyesal, mengapa dulu aku mau jadi kekasihnya jika begini akhirnya. Tapi semua penyesalan itu menguar secara tiba-tiba, ketika sebuah undangan makan malam datang ke apartemenku. Dan itu...darinya, dari dia yang ku rindukan, dari dia yang ingin ku maki-maki.

"Maaf, sayang. Maaf, aku tidak menghubungimu...Aku sibuk, dan ketika semuanya berakhir, aku tidak yakin apa kau masih terjaga.." katanya, sembari menunggu main course datang.

Aku tersenyum. Inilah yang aku suka darinya.

"Aku mengerti, meski awalnya aku ingin kita berakhir. Bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali. Tapi berkali-kali itu juga aku merasa bahwa aku terlalu cepat menyerah. Kau berjuang selama bertahun-tahun untuk menjadi seperti sekarang, dan aku sudah berpikir untuk menyerah mendampingimu. Dan ku pikir, hubungan kita yang seperti ini lebih baik. Setidaknya, aku masih bisa melihatmu meski hanya lewat televisi..."

"Terimakasih..Aku pikir kau akan marah, kemudian akan mengakhirinya saat ini. Aku bahkan sudah menyiapkan hatiku bila kau memang ingin putus.."

Aku tersenyum, menebak jika ia belum selesai bicara. Memang, terlalu banyak hal yang harus kami luruskan.

"Aku minta maaf, dua tahun bersama tapi tak pernah sanggup memelukmu saat kencan, bahkan jika itu hanya menggenggam tanganmu. Aku hanya bisa menatapmu, berusaha mengawasi sekitar agar kau tak tertangkap kamera..."

"Terkadang aku menyesal menjadi seorang idol, karena aku tidak bisa melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh pasangan lainnya. Kita tidak bisa berkencan semau kita, bahkan aku tak bisa mengungkapkan hubungan kita kepada publik. Tapi aku janji, jika semua semakin membaik, aku akan memperkenalkanmu kepada publik, kepada fans, kepada dunia. Dan sampai saat itu tiba, ku mohon untuk tetap bertahan di sampingku..."

-Ang-

Rabu, 27 April 2016

5-Selamat Datang

Selamat datang, sayang..
Selamat pulang kembali ke rumah, ke pelukku..

Setelah sekian lama kau memilih hilang, bersembunyi secara tiba-tiba dari kehidupan, kemudian kau kembali. Awalnya tanpa kabar, bahkan tanpa jejak yang tertinggal di akun sosial media-mu. Aku terus mencari, berusaha mencari tahu tentangmu. Dimana, sedang apa, dan apa kabar kau kekasihku. Tapi kosong, segalanya tampak bersih tak berbekas.

Bau tubuhmu bahkan hilang, menguar bersama angin. Tentangmu membuatku rindu, ingin menangis, berteriak sekuat yang aku mampu. Selalu aku memanggilmu, lirih di dalam setiap doa. Suaraku bahkan hampir habis, hanya untuk memanggilmu seorang.

Kekasihku yang ku cinta, apa kabar kau disana ? Sedang apa ? Apakah kau baik-baik saja ? Apakah ada hal yang melukaimu ?

Ku harap tidak, karena aku tak tahu harus apa bila kau sakit. Aku tidak tahu, akan berubah jadi apa hati ini bila kau tak benar-benar kembali.

Aku selalu percaya, sejak dulu sekali, jika kau pergi pasti akan kembali. Kau akan kembali, dan selamanya akan begitu. Tapi ini sudah terlalu lama, hingga aku nyaris gila. Ponselmu tak bisa ku hubungi, hatimu tak mampu ku tebak. 'Haruskah aku menyerah ? Melepaskanmu begitu saja ?' Berulang kali aku berpikir begitu, tapi selalu tak ku temukan apa jawabnya. Terkadang aku ingin menyerah, tapi ada sisi lain dari hatiku yang masih percaya padamu.

Kemudian secara tiba-tiba kau kembali, dengan seulas senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Aku bahagia, terlampau bahagia. Sejak dulu aku memang selalu ingin denganmu, bahkan tak ku pedulikan yang lain. Aku ingin denganmu, hanya denganmu, tempat dimana aku mampu berlabuh, menyamankan hatiku.

Kau tempatku bersandar, sayang. Jika kau pergi, kemana aku harus berlabuh ? Kemana aku harus bersandar ? Kemana aku harus menangis ?

Selamat datang, sayang..
Selamat pulang kembali ke rumah, ke pelukku..

-Ang-

Sabtu, 23 April 2016

4-Lepas

Ku pikir melepaskan adalah hal yang paling mudah, layaknya menghamburkan pasir di laut, mengapung...kemudian hilang. Tanpa bekas. Namun pasir itu tidak hilang begitu saja, ia mengendap, dan tak akan hilang sampai kau membuang semua air beserta tempatnya. Begitulah aku. Aku melepaskannya seperti pasir, hingga tanpa ku sadari kenangan tentangnya kini mengendap di dasar hati.

"Move on itu tidak mudah, Rei. Kau katakan kau melepaskannya dengan ikhlas, tapi aku percaya jauh di dalam hatimu kau tidak rela.." seorang sahabat pernah berkata. Saat itu aku hanya tertawa. Bagiku itu lucu, sangat lucu.

"Aku berbeda. Aku sudah melepaskannya, mengikhlaskannya pergi.." kataku.

"Kau hanya mencoba melarikan diri, Rei.."

Melarikan diri ? Ya, mungkin itu yang aku lakukan. Aku tidak benar-benar melepaskannya. Aku hanya berusaha mengubur rasa sakitku, yang justru hanya membuatku semakin tenggelam dalam keputus-asaan. Aku sudah jatuh terlalu dalam padanya, dan terlalu susah untuk kembali ke permukaan. Ia merantaiku, menyekapku, menculikku, hingga tak membiarkan aku untuk pergi, meski hanya untuk mengemis oksigen.

Dan aku lelah, aku lelah untuk menahan napas. Aku lelah terus terikat padanya, padahal ia tidak lagi teikat padaku. AKulah satu-satunya pihak yang mengikatkan diri, namun tak sanggup untuk melepaskan.

Dan hari ini, tepat 3 tahun. Sudah tiga tahun ia pergi, membawa separuh perasaanku pergi bersamanya. Ia tak pernah kembali, meski itu hanya untuk mengembalikan perasaanku. Ia tak pernah datang lagi, meski aku ingin.

"Ia hanya merasa bersalah, Rei..."

Aku hanya diam. Ia memang salah, tapi bukan begini cara dia lari. Tak seharusnya ia pergi dengan membawa serta perasaanku. Dan tak seharusnya ia pergi seperti pencuri.

Ah, ia memang pencuri. Ia telah mengambil hatiku, dan membawanya pergi.

"Ia yang bodoh, Rei. Lupakan saja, ia bukan yang terbaik.."

Aku hanya tersenyum tipis, mencoba menahan tangis meski tak sempurna. Bukan ia yang bodoh, tapi aku. Aku terlalu bodoh untuk membiarkan perasaanku jatuh padanya. Memujanya, seakan ia pangeran berkuda putih yang akan membawaku ke surga. Aku terlalu bodoh, hingga tak melawan ketika ia mendua, memberikan hatinya pada yang lain, kemudian pergi.

Dan aku rindu padanya, terus menerus rindu meski tak menyadarinya. Aku merindunya, meski ratusan pesanku tak berbalas. Aku merindu, hingga rasanya ingin mati.

Aku ingin menangis, melampiaskan seluruh rinduku pada bumi, membiarkan daun-daun membelai lembut, membiarkan angin menerbangkan separuh lagi perasaanku. Aku ingin melepaskannya, dan seperti yang ku bilang, aku juga akan membuang perasaanku, juga hatiku.

-Ang-

Rabu, 20 April 2016

3-Rindu

Rindu itu candu. Ia menggebu, tanpa pernah kenal mati. Ia layaknya kanker, semakin meluas ketika kita tidak mencoba untuk melepaskannya. Tapi ia akan terus berulang, membuat rasa rindu yang semakin lama semakin menyakitkan meski telah bertemu ribuan kali.

Aku merindukanmu, hingga rasanya ingin muncul tiba-tiba di hadapanmu dalam hitungan detik, kemudian memeluk dan tak akan ingin melepasmu lagi. Ingin aku menjadi sosok Do Min Joon, tiba-tiba berteleportasi ke hadapanmu. Atau aku ingin menjadi nobita, kemudian masuk ke kamarmu secara tiba-tiba lewat pintu kemana saja. Atau seperti Kris ? Agar aku bisa terbang secepat yang aku mau ke tempatmu.

Aku sangat sangat sangat sangat merindukanmu. Atau aku harus butuh lebih banyak kata 'sangat' ? Entah. Yang perlu kau tau, aku sangat sangat merindukanmu, hingga rasanya ingin mati. Bahkan rinduku tak akan tersampaikan bila hanya lewat kata, atau pelukan. Entah harus dengan cara apa aku melampiaskannya.

Mendengar suaramu membuatku semakin rindu, semakin sakit. Berlebihan memang, tapi bila aku begitu merindukanmu, harus apa ? Bersikap biasa saja ? Aku pikir aku tak akan sanggup lagi bernapas jika terlalu lama memendamnya.

Tapi kau tak tahu. Kau tidak tahu jika aku begitu merindukanmu, meski itu hanya sebuah sentuhan kecil. Hanya gesekan antar kulit. Aku merindukanmu, meski itu hanya aroma khas tubuhmu. Aku sangat merindukanmu, meski kenyataannya sejam yang lalu kita baru saja berpisah.

Sudah ku bilang, bukan ? Rindu itu seperti candu, sama seperti cokelat. Dan aku kecanduan rindu. Aku terus menerus merindukanmu, hingga rasanya ingin terus ada di dekatmu.

Ah, rindu..

Haruskah aku memperkenalkan diri sebagai pecandu rindu ? Haruskah aku mengatakan 'aku merindukanmu' saat perkenalan pertama ? Haruskah aku mengungkapkan betapa aku merindukanmu ?

Bahkan kau tak ingat janjimu. Janji jika kita akan sama-sama saling merindu, memeluk hati masing-masing dan tak akan melepaskan hingga hari itu tiba. Namun kau ingkar. Kau bahkan tak melihatku meski aku di depanmu. Kau terus berjalan lurus tanpa tahu jika rindu itu tengah menggerogoti tubuhku.

Aku rindu kau, dan kau tak tahu. Miris memang, tapi begitulah kenyataannya. Aku sangat sangat sangat merindukanmu. Bahkan jutaan kata 'sangat' masih kurang untuk mendeskripsikannya.
Aku rindu kau, dan kau tak mengingatnya. Entah kau pura-pura lupa, atau hanya menganggap janji itu sebagai janji masa lalu, masa kecil, yang tak perlu kau pikirkan.

"Aku akan kembali, dan sampai saat itu tiba, jangan lupakan aku.." itu katamu, entah berapa tahun yang lalu.

"Lalu, jika saat itu tiba ?"

"Kita harus saling berpelukan, melepas rindu yang terpendam. Berbagi tawa, berbagi tangis. Hanya berdua.." janjimu, yang dengan bodohnya masih ku pegang sampai sekarang.
Hanya berdua. Aku dan kau. Tanpa ada pihak ketiga, keempat, kelima, bahkan ke sejuta sekalipun. Tapi kemudian aku hancur, ketika di pertemuan pertama kau hanya diam. Acuh, seakan tak peduli jika binar-binar rindu itu menguar di mataku.

"Aku merindukanmu, sangat merindukanmu.." katamu. Bukan kepadaku, tapi kepada orang lain. Gadis yang namanya tak ingin ku sebut. Kalian saling berpelukan, kemudian berbagi tangis karena begitu rindu.

Harusnya itu aku. Harusnya gadis itu aku, tapi aku tak mampu meneriakannya. Aku hanya diam, bibirku terkunci. Kemudian aku menangis tanpa suara, tanpa berusaha ku tutupi. Tapi kau bahkan tak berbalik, meski hanya memeluk dan membisikkan kata-kata 'jangan menangis' berulang kali, seperti saat dulu.

Aku rindu kau, dengan sangat. Tapi rindumu bukan kepadaku.

Kemudian aku hancur, kakiku lumpuh, tubuhku kaku termakan rindu. 

Rindu itu candu, dan aku merasakannya.

-Ang-

Sabtu, 16 April 2016

2-Mungkin

Manusia diciptakan Tuhan untuk 5 hal pokok, yaitu mencintai, berdoa, berjuang, mati, dan bermimpi. Terlepas ia memiliki Tuhan atau tidak, seseorang pasti akan berdoa. Ia juga akan mencintai, sekalipun tak semua cintanya berbalas. Mengenai mati, semua yang lahir pasti akan mati, layaknya kayu yang nantinya akan berubah menjadi arang, atau dimakan rayap. Terakhir, bermimpi. Bohong jika ada orang yang mengatakan jika ia tidak punya mimpi, tidak punya harapan. Semua orang pasti punya, meski terkadang itu tidak disadari. Begitupula saya.

Saya memiliki banyak mimpi, bahkan terlampau banyak, sehingga memunculkan banyak kata 'mungkin', 'seandainya', 'jika saja', dan kata-kata sejenis lainnya. Dan mungkin karena terlampau banyak, Tuhan mungkin hampir kehabisan stok tempat mimpi untuk saya.

Memang benar manusia hanya berencana, yang menentukan adalah Tuhan. Sekuat apapun jika manusia berusaha, ketika Tuhan tidak mengizinkan, maka semuanya tidak akan terjadi, dan menjadi sia-sia dimata manusia.

Beberapa waktu lalu, sempat saya mengikuti sebuah kompetisi yang melibatkan juri-juri berkelas. Harapan saya begitu tinggi, karena saya pikir, pengetahuan saya tentang 'hal' tersebut sudah lebih dari cukup. Dengan percaya diri saya menuliskannya, sembari terus melafalkan harapan. Saya yang biasanya seorang DL-ers tiba-tiba saja sudah selesai 2 minggu sebelum DL. Sebuah rekor baru.

"Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.."

Itu kata Arai, salah seorang tokoh manusia yang masih samar apakah dia nyata atau hanya rekaan. Tapi kata-kata itulah yang menjadi bekal saya untuk mengirimkannya segera. Selama 2 bulan saya terus berdoa, mencoba bernegosiasi dengan Tuhan tentang hal itu. Dan tibalah saat itu. Seperti saat saat sebelumnya, nama saya bahkan tidak terpampang.

Jangan tanya tentang perasaan, karena sudah terlampau biasa. Saya tidak sedih, hanya saja kecewa. Itu wajar, ketika manusia menginginkan suatu hal dan tidak terlaksana, maka ia akan kecewa. Sangat wajar. Dan ketika manusia tersebut terlalu sering kecewa, maka semuanya akan terasa sama. Hambar. Seperti permen kapas tanpa pemanis.

Dan kecewa, ia akan hadir ketika kata-kata 'mungkin' terlampau sering muncul. Mungkin ia juga jatuh cinta padaku, atau mungkin Tuhan akan ada dipihakku, atau mungkin karena pengetahuanku yang baik semuanya akan aman, dan berbagai kata 'mungkin' yang lainnya. Tapi hidup akan susah ketika kata 'mungkin' dan sejenisnya dihilangkan. Kenapa ? Karena, kata 'mungkin' itulah yang menjadi salah satu kunci untuk bermimpi.

Ah, mungkin. Mungkin segalanya tidak akan terjadi bila saya tidak berharap. Mungkin segalanya tidak akan menjadi seperti ini bila saya tidak bersemangat. Dan mungkin, catatan ini tidak akan ada bila perasaan kecewa itu tidak muncul.

Sekian.

-Ang-

1-Topeng

Entah, sudah berapa lama aku hidup dalam kepura-puraan, bahkan aku sudah lupa seperti apa aku. Aku sudah lupa bagaimana caranya tersenyum tanpa merasa sakit. Aku sudah lupa bagaimana rasanya tertawa tanpa beban. Bahkan aku sudah lupa bagaimana rasanya bahagia. Entahlah, apakah yang selama ini aku pikir bahagia adalah bahagia. Semuanya sama. Hambar.

Seringkali aku diam, memikirkan 'bagaimana bila'. Bagaimana bila dulu aku memilih tempat yang berbeda, atau bagaimana bila aku mati. Akankah Tuhan mengutukku ? Sekali waktu, aku ingin bunuh diri. Tapi semua itu hanya keinginan semata. 'Tuhan akan mengutuk roh orang yang mati bunuh diri', itu yang selalu aku percaya. Tapi bisakah aku melakukannya bila suatu saat aku lelah ?

Aku sudah terlalu lama hidup dalam kepura-puraan. Aku pura-pura tuli, pura-pura tak melihat, pura-pura tak peduli. Bahkan karena terlalu lama, aku sudah lupa bagaimana caranya peduli.

Setiap manusia memiliki batas kesabaran bukan ? Akupun juga. Mereka hanya bicara omong kosong, tapi tidak tahu faktanya. Aku selalu bersembunyi, sengaja. Mungkin karena aku tidak ingin merasa sakit lagi. Atau mungkin karena aku sudah lupa bagaimana caranya bicara. Kau tahu ? Aku hidup dalam balutan topeng. Dan sekarang aku mulai lelah, mulai terus menangis bahkan tanpa tahu mengapa.

Entah, jangan tanyakan bagaimana perasaanku. Perasaanku mati, mungkin telah lama mati.
Aku sudah tahu bagaimana rasanya sakit, aku sudah terlalu sering merasakannya, bahkan tanpa ada yang menyadari. Aku selalu diam-diam menyimpannya sendiri, memasukannya dalam sebuah kotak yang melayang di pertengahan perasaan. Terus begitu. Berusaha agar segalanya tampak baik-baik saja. Berusaha terlihat bahagia, meski jauh di dalam sana ada sebuah kepedihan.

Aku mulai lelah, berkali-kali berpikir bagaimana jika aku pergi. Bagaimana jika aku menjadi Do Min Joon saja, yang mampu ber-teleport ke tempat lain. Mungkin jika aku menjadi ia, aku akan berteleport ke pantai super sepi saat aku hancur.

Aku lelah, bahkan terlalu lelah. Aku mulai bertingkah seperti Cheon Song Yi yang ditinggal pergi Do Min Joon. Rasanya ingin mati. Tapi aku masih takut pada Tuhan. Aku takut Tuhan akan mengutukku. Aku takut jika nyawaku dibiarkan melayang dalam perasaan dingin.

Aku merasa lelah, terus menerus bersembunyi dibalik senyum palsu. Aku lelah bertingkah baik-baik saja, tapi aku tak akan bisa berubah. Perasaanku sudah pergi, mungkin dimakan dementor. Atau mungkin, akulah yang membunuh perasaanku sendiri, membiarkannya menjadi dingin, kemudian mati secara perlahan.

Sekali saja aku ingin kembali, mungkin ke masa saat Tuhan belum menurunkan aku ke bumi. Aku ingin bicara pada-Nya, aku ingin mengatakan pada-Nya agar takdirku dibelokkan saja. Aku ingin merasa bahagia, meski itu hanya sebuah angan-angan.

Mereka tidak mengerti, tidak akan ada yang mengerti bagaimana aku. Bahkan akupun tidak.
Aku sakit, Ibu, sangat sakit jika kau tahu. Bukan fisikku, tapi perasaanku. Aku lelah, aku lelah untuk terus berpura-pura. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya bicara. Aku sudah terlalu lama diam dalam semua kepalsuan.

Perasaan bahagiaku seakan tak berguna, karena aku terlalu lama menyembunyikannya. Bolehkah Tuhan ? Bolehkah aku membagikan kebahagiaanku pada semua orang yang aku cintai ? Termasuk dia, laki-laki yang tak ingin ku sakiti. Ia laki-laki baik hati, yang bahkan telah mengambil hatiku sejak dua tahun yang lalu. Aku ingin ia selalu bahagia, Tuhan. Bisakah ?

Aku tak apa bila kemudian aku hidup tanpa perasaan. Aku hanya tidak ingin terus merasa sakit. 

Aku lelah, bahkan sangat lelah untuk terus hidup di balik topeng.

-Ang-