based
on VIXX-I don't want to be an idol
Ini
sudah kesekian kalinya ia membatalkan jadwal kencan yang sudah ku susun dengan
manis. Aku sudah membayangkan bagaimana nanti dia menjemputku, kemudian pergi
ke bioskop, menonton film romantis, dan berakhir dengan duduk manis di tepian
pantai menatap langit. Namun kemudian semuanya hancur lebur, ketika ia berkata,
"Maaf, sayang, mendadak aku harus bertemu dengan presdir untuk membahas
konser.."
Dan
aku hanya bisa mengatakan "iya, itu bukan masalah, sayang.."
Apalagi
yang bisa aku katakan ? Mengatakan 'tidak' dan memulai aksi marah dengan tidak
menjawab semua panggilan teleponnya ? Ku pikir aku tidak sebocah itu, dan ku
pikir...ini memang resiko-ku.
Sudah
hampir dua tahun kami jalan bersama, tapi tak seorangpun yang tahu, kecuali
orangtua kami masing-masing. Publik tidak tahu, dan aku cukup tahu diri untuk
tidak membuat dirinya dalam masalah. Aku tidak mau bila nanti ia memiliki
skandal dengan seorang perempuan, meski itu adalah aku. Aku masih cukup sadar
diri untuk tidak membuat karirnya berantakan. Aku menyayanginya, meski hubungan
kami hanya jalan di tempat.
"Maaf,
ini sudah ke sekian kalinya aku membatalkan janji kita. Aku tidak berharap kau
tak marah, aku hanya berharap hubungan kita tidak berhenti sampai
disini.." katanya, dua malam setelah kencan kami yang lagi-lagi ia
batalkan.
"Aku
tahu..Aku memang berhak marah padamu, tapi aku juga tahu jika ini mimpimu. Aku
tidak sanggup untuk menghancurkannya, meski aku ingin. Sejauh ini aku sudah
berusaha untuk mengerti, dan aku akan selalu mengerti tentangmu.."
Ia
tersenyum, dan beginilah kami. Pada setiap kencan yang batal, selalu ada jarak
yang terhapuskan. Hubungan kami selalu semakin dekat, meski jarang bertemu,
meski segalanya tampak monoton. Tapi aku mencintai dia, dan aku pun tahu jika
ia juga mencintaiku. Kami harus saling mengerti, dengan begitu semuanya akan
baik-baik saja.
Sempat
hampir tiga bulan kami tak bertemu, bahkan tak ada pesanku yang ia balas. Aku
hampir menyerah, ingin semuanya berakhir. Aku mulai lelah, dengan semua
ke-monoton-an yang kami ciptakan sejak awal. Aku mulai menyesal, mengapa dulu
aku mau jadi kekasihnya jika begini akhirnya. Tapi semua penyesalan itu menguar
secara tiba-tiba, ketika sebuah undangan makan malam datang ke apartemenku. Dan
itu...darinya, dari dia yang ku rindukan, dari dia yang ingin ku maki-maki.
"Maaf,
sayang. Maaf, aku tidak menghubungimu...Aku sibuk, dan ketika semuanya
berakhir, aku tidak yakin apa kau masih terjaga.." katanya, sembari
menunggu main course datang.
Aku
tersenyum. Inilah yang aku suka darinya.
"Aku
mengerti, meski awalnya aku ingin kita berakhir. Bukan sekali dua kali, tapi
berkali-kali. Tapi berkali-kali itu juga aku merasa bahwa aku terlalu cepat
menyerah. Kau berjuang selama bertahun-tahun untuk menjadi seperti sekarang,
dan aku sudah berpikir untuk menyerah mendampingimu. Dan ku pikir, hubungan
kita yang seperti ini lebih baik. Setidaknya, aku masih bisa melihatmu meski
hanya lewat televisi..."
"Terimakasih..Aku
pikir kau akan marah, kemudian akan mengakhirinya saat ini. Aku bahkan sudah
menyiapkan hatiku bila kau memang ingin putus.."
Aku
tersenyum, menebak jika ia belum selesai bicara. Memang, terlalu banyak hal
yang harus kami luruskan.
"Aku
minta maaf, dua tahun bersama tapi tak pernah sanggup memelukmu saat kencan,
bahkan jika itu hanya menggenggam tanganmu. Aku hanya bisa menatapmu, berusaha
mengawasi sekitar agar kau tak tertangkap kamera..."
"Terkadang
aku menyesal menjadi seorang idol, karena aku tidak bisa melakukan hal-hal yang
bisa dilakukan oleh pasangan lainnya. Kita tidak bisa berkencan semau kita, bahkan
aku tak bisa mengungkapkan hubungan kita kepada publik. Tapi aku janji, jika
semua semakin membaik, aku akan memperkenalkanmu kepada publik, kepada fans,
kepada dunia. Dan sampai saat itu tiba, ku mohon untuk tetap bertahan di
sampingku..."
-Ang-